Kamis, 30 Juni 2016

Belajar dari bambu

"Saya dikeluarkan dari pekerjaan, berpisah dengan keluarga, melepaskan spiritualitas saya. Sekarang, baiknya saya mengakhiri hidup saja.” gerutu seorang pria muda dalam hati. Dia lantas memutuskan pergi ke hutan dan berbicara kepada Tuhan untuk yang terakhir kalinya.

“Tuhan”, panggilnya. “Bisakah Engkau memberikan satu alasan saja agar saya tidak mengakhiri hidup?”

Tuhan kemudian menjawabnya, “Lihat sekitarmu. Apakah kamu bisa melihat tumbuhan bambu dan pakis?”

Sambil memperhatikan sekitarnya, pemuda tersebut kemudian menemukan dua tumbuhan tadi lalu kemudian menjawab, “ya”.

“Ketika Aku menanam pakis dan benih bambu, Aku berusaha merawat mereka dengan baik. Aku memberi mereka cahaya. Aku memberi mereka air. Pakis tumbuh dengan cepat. Warna hijaunya yang menawan menutupi bumi. Tapi, apa yang terjadi dengan benih bambu. Aku tidak pernah berhenti pada bambu. Tahun kedua, pakis tumbuh semakin banyak dan lebih hijau. Tapi, tak ada yang terjadi pada benih bambu. Tapi Aku tidak pernah berhenti merawatnya,” kata Tuhan.

“Setelah beberapa tahun berlalu, masih tidak terjadi apa-apa pada benih bambu. Tapi, aku tidak pernah berhenti merawatnya. Pada tahun keempat, sekali lagi, tidak ada yang terjadi pada benih bambu. Dan Aku tidak akan berhenti,” lanjut Tuhan.

Penantian panjang ini akhirnya sampai di tahun kelima. “Sebuah tunas kecil muncul dari dalam bumi. Bila dibandingkan dengan pakis, tunas itu kelihatan begitu kecil dan tidak berarti. Tetapi enam bulan kemudian, bambu menjulang tingginya menjadi lebih dari 30 meter.”

“Tahukah kamu, bahwa dia membutuhkan waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar. Akar-akar itulah yang membuat bambu kuat dan memberikan apa yang diperlukan untuk mempertahankan diri. Hal ini berlaku sama seperti pada manusia. Aku tidak akan memberikan ciptaan-Ku tantangan yang tidak bisa mereka tangani,” kata Tuhan.

Tuhan kemudian melanjutkan dengan berkata, “Tahukah kamu, anak-Ku? Selama ini kamu telah berjuang, tapi akarmu belum benar-benar tumbuh. Sama seperti Aku yang tidak akan berhenti pada bambu, Aku juga tidak akan menyerah padamu.”

“Maka dari itu jangan terus-menerus membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain. Sebab bambu-bambu itu memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan pakis. Meskipun begitu, keduanya tetap bisa membuat hutan menjadi indah.”

Menjawab pertanyaan pemuda yang diawal tadi, Tuhan kemudian berkata, “saatmu akan tiba dan engkau akan ‘tumbuh’ sangat tinggi.”

“Seberapa tinggi aku akan ‘tumbuh’?” tanya pria tadi.

“Sampai seberapa tinggi bambu itu dapat tumbuh?” Tuhan balik bertanya.

“Setinggi itu bisa?” tanya pria itu.

“Ya. Maka muliakanlah Aku setinggi yang kau bisa,” jawab Tuhan.

Pemuda itu kemudian meninggalkan hutan dengan membawa pulang kata-kata penghiburan yang dari Tuhan. Percakapan dengan Tuhan telah membantunya melihat dengan ujian cara berbeda. Bila Tuhan saja tidak akan menyerah dengan bambu, terlebih lagi dengan dirinya. Saat seseorang tidak menyerah dengan keadaan, Tuhan pasti akan berjuang bersamanya.

Sumber : http://www.jawaban.com/

Rabu, 29 Juni 2016

Rumah dengan Seribu Cermin

Dalam desa kecil terdapat satu tempat yang dikenal dengan nama ‘Rumah dengan Seribu Cermin’. Penasaran dengan rumah tersebut, datanglah seekor anjing kecil untuk mengunjunginya. Sesampainya di sana, dia menaiki tangga pintu rumah dengan telinga yang terangkat tinggi dan ekor yang mengibas.

Sesampainya di dalam, kegembiraan yang dirasakannya seakan disambut dengan bahagia oleh penghuni rumah tersebut. Dia menatap seribu anjing kecil lain yang juga gembira dengan ekor yang mengibas cepat.

Anjing kecil itu tersenyum lebar dan dia mendapati balasan yang sama dengan seribu senyuman lebar yang hangat dan ramah. Saat akan meninggalkan rumah tersebut, anjing kecil ini berkata dalam hati, “Ini adalah tempat yang indah. Aku akan datang kembali dan sering mengunjunginya.”

Mendengar hal itu, satu anjing kecil lainnya penasaran. Namun yang berbeda adalah, anjing kecil ini tidak cukup bahagia seperti sebelumnya. Dia menaiki tangga dengan perlahan dan sambil menunduk.

Sesampainya di pintu rumah, anjing kecil kedua ini tetap menunduk dan murung. Masuk ke  ‘Rumah dengan Seribu Cermin’, dia merasa ngeri dengan anjing kecil lain yang menatap tidak ramah ke arahnya.

Merasa tidak disambut dengan hangat, langsung anjing kecil ini menggeram. Lalu dia melihat seribu anjing kecil itu juga balik menggeram ke arahnya. Saat pergi dari tempat itu, dia berpikir, “Itu adalah tempat yang mengerikan, dan aku tidak akan pernah kembali ke sana lagi.”

Cerita di atas memang hanya perumpamaan, namun hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan kita. Sebab, segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita merupakan refleksi dari kita sendiri. Termasuk pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan kita. Lalu, apa jenis refleksi yang kita lihat pada wajah orang yang kita temui?

Sumber : http://www.jawaban.com/

Pengorbanan Pohon Apel

Alkisah hiduplah sebuah batang pohon apel besar di sebuah desa. Seorang anak kecil setiap hari bermain di bawah pohon tersebut. Dia amat senang memanjati pohon, memakan buah, dan tidur-tiduran di keteduhan dedaunannya.

Anak tersebut sangat mencintai pohon apel tersebut dan sebaliknya demikian juga sebaliknya. Waktu terus berjalan dan anak tadi telah tumbuh besar. Bertambahnya usia, anak itu tidak lagi bermain setiap hari dengan pohon tersebut.

Satu waktu dia datang dengan wajah yang muram. “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” sambut Sang pohon. “Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawabnya. “Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya,” kata anak itu lagi.

Mendengar itu, pohon tersebut menyahut demikian, “Maaf aku pun tidak punya uang. Tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”

Mukanya yang tadi muram berubah menjadi semburat kebahagiaan. Anak tadi langsung memetik buah apel dan pergi dengan sukacita. Sehabis itu, dia tidak pernah lagi mengunjungi pohon apel tersebut dan pohon itu kembali bersedih.

Suatu hari, anak tersebut tadi datang lagi dan membuat pohon apel sangat senang. “Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.

“Aku tak punya waktu. Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” balasnya.

“Maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel. Anak tersebut kemudian menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu. Kemudian dia pergi dengan gembira.

Setelah itu, anak itu tak pernah kembali lagi. Kembali pohon apel merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musim panas dia datang lagi dan pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

“Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.

“Aku sedih,” ujar anak tersebut.

“Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk berlayar?”

“Maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah,” Sang pohon menawari lagi.

Batang pohon apel itu akhirnya dipotong dan dibuat sedemikian rupa hingga menjadi kapal yang dididamkannya. Dia pergi berlayar dan tidak mengunjungi Sang pohon dalam waktu lama.

Bertahun-tahun kemudian dia datang lagi. Melihat kedatangannya, Sang pohon langsung berkata, “Maaf anakku, aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”

“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak itu.

“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel lagi.

“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” saut anak itu.

“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” ujar pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang. Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”

“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

Dia pun kemudian berbaring di pelukan akar-akar pohon. Dan Sang pohon apel tersenyum sambil menangis bahagia.

Ilustrasi tadi menggambarkan hubungan anak-anak dengan orang tua. Ibarat orang tua, pohon apel tersebut menjadi tempat yang paling kita senangi semasa kecil. Seiring bertambahnya usia, kita mungkin akan meninggalkan mereka dan hanya datang saat kita sedang kesulitan atau membutuhkan sesuatu.

Meski begitu, orang tua selalu ada di tempat yang sama untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan demi kebahagiaan anak-anaknya. Sekilas mungkin kita berpikir bahwa anak tadi bertindak kasar pada pohon  tersebut, namun sadar atau tidak begitu pula kita memperlakukan orang tua.

Selama mereka masih hadir, cintailah orang tua Anda. Sampaikan perasaan kasih Anda, berterima kasih atas seluruh cinta dan pengajaran yang telah mereka curahkan.  Sebab Allah sendiri menghendaki kita untuk berbakti kepada orang tua.

Sumber : http://www.jawaban.com/